Alfian Nur Rosyid
Dokter Paru FK UNAIR, Satgas Corona RS UNAIR, Humas PDPI
Pandemi COVID-19 diumumkan sebulan setelah kasus pertama di Wuhan. Lebih dari 25 negara terjangkiti virus SARS-CoV2, tak terkecuali Indonesia. Awal Maret, kasus pertama di Jakarta. Kini, hampir semua provinsi ada pasien positif. Transmisi lokal terjadi dimana-mana, bukan kasus impor lagi.
IMAN
Indonesia bangsa besar, menganut sila pertama Pancasila, Ketuhanan yang Maha Esa. Meyakini atas kehendak-Nya virus ini hadir di dunia dengan karakterisitik tertentu. Tanpa mengesampingkan analisis adanya pihak yang memutasikan virus tersebut.
Virus berkembang bila hinggap di inang (host) seperti babi, kelelawar dan manusia. Tanpa ijin-Nya, virus ini tak bisa “hidup”, berdaya transmisi dan menyebabkan sakit. Demam tanda alarm awal yang diciptakan Tuhan sebagai warning. Ada sirine dibunyikan tubuh tanda hadirnya penyusup. Reflek bersin dan batuk guna mengeluarkan virus. Sistem pertahanan tubuh yang diciptakan-Nya bekerja sempurna, berjalan otomatis tanpa instruksi manusia.
Pakai masker, jaga jarak, isolasi diri di rumah, hindari kerumuman massa, tinggalkan mudik dan lakukan perilaku hidup bersih dan sehat merupakan upaya pencegahan tertular dan menulari. Pelanggaran hal itu merupakan penafian keimanan. Keimanan dalam upaya mencegah sebelum sakit, sembari terus berpasrah kepada-Nya. Menyadari wabah ini ujian keimanan dalam memilih tetap bersabar di rumah atau keluar bekerja dan beribadah dalam kerumunan tanpa usaha preventif.
Dia yang mengijinkan virus ini dapat menjadi senjata biologis dan Dia pula yang telah melengkapi manusia dengan senjata kekebalan. Kekebalan itu ada sejak manusia terlahir. Itulah sistem imun.
IMUN
Virus kecil tak kasat mata mudah dikeluarkan dari si terjangkit kepada orang lain. Sekali virus menembus pertahanan fisik tanpa masker, serta tidak terbuang dengan bersin atau batuk. Maka, virus akan berhadapan dengan sistem imun. High immunity akan me-lockdown virus dan sebaliknya virus akan men-smackdown kekebalan orang lemah.
Pendekatan diri pada-Nya meningkatkan imunitas. Dia-lah pencipta imunitas dalam melawan berbagai virus. Kepatuhan segala rule-Nya, menyebabkan sistem imun terjaga sempurna. Istirahat cukup 7-9 jam perhari dan tidak stres serta panik menjadi kunci peningkatan imunitas. “Kepanikan adalah separuh penyakit, ketenangan adalah separuh obat dan kesabaran adalah permulaan kesembuhan” kata Avicenna, sang Bapak kedokteran Modern. Pola makan bergizi, sehat dan halal menghasilkan asam amino pembentuk sistem imun. Regenerasi sel imun harus diupayakan guna meng-upgrade senjata-Nya.
Dari 8o persen, orang yang terinfeksi memiliki imunitas kuat, virus dapat dilemahkan dengan mudah. Hanya gejala ringan bahkan tanpa gejala (carier). Mereka cukup isolasi diri di rumah. Terus berupaya meningkatkan kekebalan tubuh. Virus ini ganas pada pasien rentan dengan imunitas lemah (bayi, lanjut usia,atau penyakit kronis lain). Virus menggulingkan pasien dengan imunitas lemah sehingga mereka memberat dan harus rawat inap (15%). Sisanya 5% gagal napas dan butuh mesin bantuan napas.
Dia yang mengijinkan seseorang menjadi sakit, Dia pula yang menyembuhkan. Banyak kabar baik dan sugesti positif beredar dari para pasien positif, baik yang dirawat inap maupun yang rawat isolasi mandiri di rumah. Dengan menguatkan imunitas, mereka dapat sembuh dan berkumpul lagi bersama keluarga dengan aman.
AMAN
Presiden RI, Joko Widodo, 15 Maret, menghimbau agar warga tenang, tidak panik, melakukan karantina mandiri, jaga jarak dan pakai masker. Himbauan tanpa sangsi ibarat nasihat masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Tak ayal, banyak yang tak patuh. Moda transportasi masih ber-seliweran, pasar, mall, tempat ibadah masih dijejali manusia.
Strategi jitu, masal dan merata harus dipilih demi keselamatan bangsa ini. Penularan virus yang cepat dan masif harus dilawan dengan pencegahan penularan yang super ketat. Intinya adalah karantina virus pada individu yang kuat yang terlanjur terjangkiti sampai virus ini dikalahkan imunitas. Jangan sampai virus itu berpindah kepada orang lain. Karantina harus dilakukan marathon bukan sprint. Harus tegas, dikawal dengan pinalti. Marathon artinya bersama-sama, bila hanya perorang, perwilayah, perprovinsi maka transmisi tetap akan terjadi. Virus akan sprint berpindah kepada orang di wilayah lain. Kecukupan sembako yang bergizi juga harus disiapkan.
Penyemprotan dan chamber bukan solusi aman. WHO menyatakan bahaya bagi manusia. Masyarakat mengasumsi penyemprotan akan membunuh virus dan mereka tetap bebas berkeliaran tanpa jaga jarak, pakai masker dan rajin cuci tangan.
Swab masal dan rapid bagi semua penduduk bukan solusi jitu. Pemeriksaan ini layaknya hanya bagi si sakit berat untuk memastikan penyebab sakit. Bukan semua orang. Muncul stigma negatif di masyarakat bagi pasien positif. Pengucilan keluarga si sakit acapkali terjadi. Budaya tepo seliro dan saling membantu seakan sirna. Perlunya dukungan masyarakat penyangga bagi mereka yang sedang berduka.
Penjemputan pasien positif dengan ambulan lengkap petugas berbaju “astronot” adalah protokol standar. Harus dipahami, fasilitas itu hanya untuk pasien positif yang sakit berat dan butuh rawat inap atau tak mampu mengisolasi mandiri di rumah. ODP, PDP atau positif COVID-19 dengan kondisi baik dan bisa isolasi mandiri di rumah, maka mereka tidak perlu rawat inap di rumah sakit atau wisma khusus. Cukup isolasi ketat di kamar atau rumah mereka sembari meningkatkan kekebalan. Bagi yang memberat, rumah sakit disediakan bagi mereka.
Hilir dari penangananan wabah ini adalah penyediaan fasilitas kesehatan yang memadai agar terjadi penurunan kasus kematian. Dengan menekan penularan maka kasus menurun dan kebutuhan perawatan di rumah sakit juga turun. Tenaga kesehatan terhindar dari exhausted dan demotivasi. Pelayanan pasien lebih optimal. Outcome jadi lebih baik.
Semua harus bersatu, bergerak bersama. Fokus pada lokus masing-masing dalam kontribusi penanganan wabah ini. Dengan terus berdoa agar semua upaya diridhoi-Nya. Semoga warga sehat dan aman. Amin.